Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: 464 hlm
Ada yang tak bisa pulang... setelah 30 September 1965.
G-30S/PKI menjadi salah satu peristiwa bersejarah yang tak bisa dilupakan bangsa Indonesia. Begitu banyak cerita di baliknya. Leila S. Chudori mencoba ikut menyimpan kepingan sejarah ini lewat novelnya. Sebuah novel yang ditulis dengan sangat apik, rapi, dan detail.
Dimas Suryo, Nugroho, Tjai, dan Risjaf tak bisa pulang ke Indonesia setelah peristiwa September 1965. Perjalanan ke Santiago yang hanya direncanakan sebagai kunjungan, tak disangka akan menahan mereka untuk pulang. Keadaan politik di Indonesia sedang sangat tidak stabil. Jika mereka berempat pulang, dikhawatirkan mereka akan ikut 'diciduk'.
Keempat sahabat ini bersepakat untuk tinggal di Paris, sementara mencari cara untuk pulang. Dimas Suryo menikah dengan Viviene Deveraux. Dimas menikmati kehidupannya bersama Viviene. Meski begitu, selalu ada rindu di hati Dimas untuk pulang. Untuk melihat seperti apa Indonesia. Untuk mencium aroma cengkih di negerinya sendiri. Sedikit mengobati kerinduan Dimas akan tanah air, ia dan ketiga sahabatnya mendirikan sebuah restoran: Tanah Air. Sebuah bukti bahwa mereka tidak akan melupakan Indonesia, sejauh apapun mereka berada.
Lintang Utara, sebuah nama yang sangat Indonesia tersemat dalam diri gadis ini. Dia adalah putri dari Dimas Suryo dan Viviene. Berbulan-bulan tidak bicara dengan sang ayah, Lintang harus menurunkan egonya untuk bertemu dengan Dimas. Setelah berkonsultasi dengan dosennya, Lintang mendapat tugas akhir untuk membuat film dokumenter tentang Indonesia. Lebih tepatnya lagi, film tentang G-30S/PKI. Indonesia. Sebuah nama yang sering ia dengar. Sebuah nama yang menjadi sebagian dirinya. Sebuah nama yang terasa begitu akrab, sekaligus begitu asing. Oleh karena itu, sebagai langkah pertama, Lintang menemui ayahnya yang tahu lebih banyak tentang Indonesia.
Pertemuan Lintang dengan sang ayah ternyata membuat gadis ini akhirnya terbang ke Indonesia. Terbang dengan membawa banyak nama. Dia juga membawa banyak pesan dari Dimas, dan ketiga sahabatnya. Dimas, Nugroho, Tjai, dan Risjaf menitipkan rindu mereka akan tanah air lewat Lintang. Setelah begitu banyak tanda tanya, akhirnya Lintang menapakkan kaki di Indonesia. Begitu banyak rindu yang harus ia sampaikan. Lintang bertemu dengan nama-nama yang sering sekali ia dengar di Paris sana. Juga, bertemu dengan Segara Alam.
***
Peristiwa 30 September 1965 tak habis-habisnya untuk diceritakan. Saya sendiri tidak mengalami langsung, pun (syukurnya) tidak menjadi bagian dari para murid yang dijadwalkan nonton film tentang peristiwa ini setiap tahunnya. Rasanya ngilu membayangkan anak-anak dibawa pergi ke bioskop untuk menyaksikan peristiwa berdarah itu. Sekilas, ide awal "Pulang" ini mengingatkan saya akan kisah seorang mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di Rusia. Ia berniat pulang ke Indonesia untuk menikah dengan kekasihnya. Sayangnya, peristiwa berdarah ini membuatnya tertahan di negeri asing. Keinginan untuk bertemu sang kekasih tak bisa diwujudkan. Kisah nyata ini pernah dipentaskan oleh Papermoon Puppet, selengkapnya bisa dibaca di sini.
Kembali lagi tentang novel ini, ringkasan yang saya tulis di awal hanyalah garis besar saja. Masih banyak kisah yang akan ditemui di novel ini. Pun ringkasan itu juga masih jauh dengan ending-nya. Awalnya saya tak yakin bisa menamatkan novel ini. Saya tidak terlalu sering membaca buku-buku bernuansa sejarah. Namun, ternyata saya justru tak bisa berhenti membaca novel ini sejak halaman pertama. Kisah sejarah yang saya pikir akan terlalu berat dan membosankan, ternyata membuat saya betah duduk berlama-lama untuk menuntaskannya. Bahasa yang mengalir membuat saya sangat nyaman ketika membaca novel ini. Membaca novel sejarah maupun berita yang emosional tentang Indonesia, pasti menimbulkan rasa tersendiri bagi saya. Begitu juga dengan novel ini. Kerinduan Dimas akan Indonesia diceritakan dengan begitu apik. Memang, sejauh apapun kita melangkah, kita akan tetap rindu untuk pulang.
Novel ini menggunakan alur maju-mundur, juga multi POV. Meski begitu, saya tidak bingung ketika mengikuti kisah di dalamnya. Saya terlanjur larut dengan cerita Dimas, Lintang, Alam, dan tokoh-tokoh lainnya. Penulis berhasil menceritakan betapa G-30S/PKI memiliki pengaruh besar dalam kehidupan Indonesia selanjutnya. Begitu banyak orang yang tertahan, tak bisa pulang. Bahkan, generasi selanjutnya yang tidak berkaitan langsung dengan peristiwa ini ikut mendapat akibatnya, karena orang tua mereka merupakan pihak yang diwaspadai.
Saya menutup novel "Pulang" ini dengan begitu puas. Apalagi, di bagian belakang penulis memberikan banyak sumber yang ia gunakan untuk novel ini. Betul-betul sebuah novel yang dikerjakan dengan detail. Saya merasakan penulis memberikan penghargaan yang besar kepada sumber-sumber yang ia gunakan itu. Oleh karena itu pula, saya jadi lebih menghargai karya ini. Yang pasti, "Pulang" menjadi langkah awal saya untuk lebih mendalami buku-buku bernuansa sejarah. 5 bintang!
Review untuk:
- Posting bareng BBI dengan tema Historical Fiction
- Reading Challenge: Finding New Authors 2013