Sunday, March 31, 2013

[Review] Harry Potter and The Prisoner of Azkaban

Judul: Harry Potter dan Tawanan Azkaban
Judul asli: Harry Potter and The Prisoner of Azkaban
Penulis: J.K. Rowling
Alih bahasa: Listiana Srisanti
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 544 hlm
Cetakan: II, Maret 2001

Harry Potter kini telah menginjak tahun ketiga di sekolahnya, Hogwarts. Menjelang tahun ketiganya ini, ia hanya berharap bisa menghabiskan masa liburan dengan tenang di rumah pamannya, lalu kembali ke sekolah dan bertemu teman-teman. Namun, kunjungan Bibi Marge membuyarkan rencana Harry. Karena kesal kepada Bibi Marge, ia terpaksa melakukan sihir, sesuatu yang dilarang dilakukan siswa di luar sekolah. Di tengah situasi panik itu, Harry memutuskan untuk kabur dari rumah. Keputusan Harry itu membuatnya bertemu kendaraan khusus dunia sihir, Bus Ksatria. Dengan Bus Kstaria, akhirnya Harry berhasil menginjakkan kaki di Diagon Alley.

Di tahun ketiga ini, banyak hal baru yang dialami Harry. Ia mengetahui dirinya tengah dikejar oleh Sirius Black, tawanan yang berhasil kabur dari penjara Azkaban. Untuk pertama kalinya Harry juga bertemu dengan dementor, penjaga Azkaban yang sangat mengerikan. Bagaimana tidak? Makhluk ini menyedot kebahagiaan dari orang-orang di sekitar mereka. Harry juga bertemu makhluk sihir lainnya, Boggart dan Hippogriff. Yang tak kalah penting, Harry mempunyai guru baru di Hogwarts yaitu Profesor Lupin. Ia menggantikan guru sebelumnya untuk mengajar Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam. 

Bersama Ron dan Hermione, Harry mengalami banyak petualangan yang menegangkan. Di seri ini juga, sedikit demi sedikit latar belakang keluarga Harry akan terkuak. Banyak tokoh-tokoh baru yang memegang peranan penting. Bagaimana Harry melewati tahun ketiganya ini? Baca selengkapnya dalam "Harry Potter dan Tawanan Azkaban".

Mulai buku ketiga ini, banyak tokoh-tokoh baru yang dihadirkan oleh J.K. Rowling. Sirius Black, Lupin, juga beberapa nama lainnya turut mewarnai perjalanan Harry dalam kisah ini. Tokoh-tokoh tersebut tak hanya dihadirkan untuk membuat suasana semakin kompleks. Semua tokoh mempunyai peran pentingnya masing-masing. Seperti biasa, J.K. Rowling tetap menghadirkan kejutan yang membuat pembaca ingin terus membuka lembar demi lembar novel ini. 

Salah satu bintang dalam seri ini, tentu saja Buckbeak si Hippogriff. Sosoknya yang gagah dan sedikit angkuh justru sangat mudah membuat pembaca jatuh cinta. Saya tidak akan bicara terlalu banyak tentang Beacky, silakan berkenalan sendiri lewat buku ini :)

Dalam seri ketiga ini, Harry juga berkenalan dengan Hogsmeade, sebuah desa khusus komunitas sihir. Di desa ini, begitu banyak yang dapat dikunjungi: tempat makan, toko mainan, juga toko-toko makanan. Butterbeer menjadi minuman favorit bagi sebagian besar pengunjung Hogsmeade. J.K. Rowling mendeskripsikan butterbeer sebagai minuman yang menghangatkan sekujur tubuh dari dalam. Ngomong-ngomong tentang butterbeer, di Jogja ada sebuah kafe unik bernama LIR Shop. Kafe ini mencoba menghadirkan makanan dan minuman dari cerita fiksi ke dunia nyata. Memang tidak semua menu merupakan perwujuduan dari cerita fiksi. Dari sekian banyak makanan dan minuman yang ada di kafe itu, butterbeer ala Hogsmeade menjadi salah satu menu andalannya. Rasanya? Sulit untuk dideskripsikan, silakan coba sendiri. :) Maka, jika Anda penggemar seri Harry Potter dan kebetulan sedang mengunjungi Jogja, tak ada salahnya berkunjung ke kafe ini. (bukan postingan promo yaa... :D)


Butterbeer di LIR Shop
(selengkapnya bisa dibaca di sini)

Kembali lagi ke petualangan Harry Potter, buku ketiga ini masih memukau seperti biasa. Saya masih bersemangat melanjutkan membaca (ulang) seri ini. Jadi, mari kita akhiri ulasan ini dengan 4/5 bintang!

Posting untuk:


  



Saturday, March 30, 2013

[Review] Remember Dhaka

Judul: Remember Dhaka
Penulis: Dy Lunaly
Penerbit: Bentang Belia
Tebal: 212 hlm
Cetakan: Pertama, Januari 2013

Arjuna Indra Alamsjah tak pernah mengira akan mengalami perjalanan yang sama sekali tak terpikirkan olehnya. Di tengah kegembiraannya merayakan kelulusan SMA, Dewi Agni Alamsjah, kakaknya menyodorkan sebuah rencana yang jauh dari keinginannya. Agni ingin Juna mengikuti Dhaka Education Project, sebuah proyek untuk menjadi relawan di Dhaka. Tugasnya menjadi tenaga pengajar, khususnya di area pemukiman kumuh.

Juna, yang terbiasa hidup mewah, serba kecukupan, dan tinggal perintah jelas menolak rencana ini. Apalagi sebagai salah satu The Alamsjah, ia tak melihat apa pentingnya kegiatan ini. Keluarganya merupakan salah satu keluarga terkaya di Indonesia. Namun, Agni punya pendapat lain. Selama ini Juna terbiasa hidup enak, hingga sifatnya cenderung egois, tidak mempedulikan orang lain. Karena itulah, Agni menginginkan Juna mengikuti kegiatan ini.

Juna yang awalnya menentang rencana Agni terpaksa harus berangkat ke Dhaka karena terlibat perjanjian dengan sang ayah. Ia akan tinggal di Dhaka selama sebulan, setelah pulang ia boleh melakukan apapun. Selama tinggal di Dhaka, rekening dan kartu kreditnya akan dibekukan. Juna juga tidak boleh menggunakan nama besar Alamsjah untuk mempermudah misi ini. Maka, dimulailah petualangan Juna di Dhaka.

Memulai perjalanan dengan banyak mengeluh bukanlah awal yang bagus, tapi itulah yang dilakukan Juna. Ia banyak mengeluhkan tentang fasilitas, transportasi, dan sebagainya. Beruntung teman-teman relawannya: Emma, Daisy, Thomas, Lee, David, dan Patrick selalu sabar membantu Juna. Bagaimana kelanjutan perjalanan Juna di Dhaka? Berhasilkan pengalaman ini mengubah sifat egois dan keras kepalanya? Simak kelanjutan kisahnya di novel ini.

Sebagai novel yang ditujukan bagi remaja, tema "Remember Dhaka" cukup menarik. Ide cerita yang cukup dalam bagi kehidupan remaja, memadukan ego, kepedulian sosial, dan cinta dalam satu kisah. Alur ceritanya juga mudah diikuti, meski konfliknya cenderung datar. Saya salut sekali pada penulisnya yang telah mendeskripsikan Dhaka dengan begitu detail. Penggambaran suasana, fasilitas, dan tempat-tempat di Dhaka membuktikan riset yang dilakukan penulis cukup kuat. Cover novel ini begitu manis, mampu menarik perhatian banyak orang. Begitu pula dengan pembatas bukunya, berbentuk seekor gajah yang dibuat dari kertas lipat. Untuk poin-poin ini, saya memberikan acungan jempol bagi "Remember Dhaka".

Namun, ada sedikit hal yang mengganggu saya ketika membaca novel ini. Di awal cerita, dikisahkan bahwa Juna tidak boleh menggunakan nama besar Alamsjah untuk mempermudah perjalanannya ke Dhaka. Namun, secara rutin Juna bercerita tentang perjalanan ini di blog-nya. Bukankah itu memberikan kesempatan bagi follower blog-nya, juga pembaca lain untuk mengetahui misi Juna ini? Dan bisa jadi memperbesar kemungkinan bagi Juna mendapatkan bantuan di tengah perjalanan. Ini pendapat pribadi saya saja. Makin ke tengah cerita saya juga bisa jadi lebih menikmati selipan blog Juna ini, jadi sebenarnya tidak terlalu mengganggu ya...

Kedua, di pertengahan cerita dikisahkan Arya, salah satu murid Juna terbiasa memanggil Juna dengan nama saja, tanpa embel-embel "Kak". Hal ini berkaitan dengan budaya di Dhaka yang cukup memanggil orang dengan namanya saja. Namun, mendekati akhir kisah ada dialog antara Arya dan Juna, dan di bagian itu Arya menggunakan kata "Kak". Ini jadi pertanyaan sendiri untuk saya, karena tidak ada penjelasan bahwa Arya sekarang terbiasa menggunakan kata "Kak".

Meski begitu, "Remember Dhaka" tetap saya rekomendasikan untuk dibaca, khususnya bagi para remaja. Novel ini memberikan nilai yang jelas, bahwa selagi muda kita harus banyak berkarya, berbuat sesuatu untuk kehidupan sosial, jangan sibuk dengan urusan diri sendiri. 3/5 bintang untuk perkenalan saya dengan karya Dy Lunaly ini. :)

Favourite Quotes:
- The true happiness is not when you happy because you get what you want but when you make the other happy by doing something to them. Why? God makes the happiness to be shared and not to be enjoyed alone. (hlm 91)
- Dan, melakukan semua kewajiban itu bukanlah untuk-Nya, tapi untuk diriku sendiri. Tuhan tidak pernah membutuhkan apapun dari kita, manusia, hamba-Nya. Kita yang membutuhkan-Nya. Membutuhkan-Nya untuk menguatkan hati kita bahwa kita masih memiliki tempat untuk bergantung dan kembali, dalam kondisi apaun. (hlm 97)
- Tapi, satu yang harus diingat, ikhlas tidak hanya dieja dengan bibir semata, tapi ikhlas harus dieja dengan hati. Sayangnya, mengeja ikhlas dengan hati sangat susah untuk dilakukan. Tapi, bukannya tidak mungkin. (hlm 102)

Thursday, March 28, 2013

[Review] Bliss

Judul: Bliss
Penulis: Kathryn Littlewood
Penerjemah: Nadia Mirzha
Penyunting: Lulu Fitri Rahman
Penyelaras aksara: Aini Zahra
Penata aksara: elcreative
Penerbit: Mizan Fantasi
Tebal: 308 hlm
Cetakan: I, November 2012

Bagaimana reaksimu jika mendapati bahan-bahan seperti kilatan petir, air mata warlock, dan nyanyian burung tertulis di resep kue? Saran dariku, tanyakan pada Purdy Bliss. Ia akan mengubah bahan-bahan itu menjadi kue yang lezat dan tak bosan untuk dinikmati.

Purdy Bliss adalah seorang pembuat kue yang tinggal di Calamity Falls. Ia adalah ibu dari Rosemary Bliss (Rose), tokoh utama kita kali ini. Rose dan keluarganya memiliki sebuah toko kue bernama Follow Your Bliss. Setiap hari, toko kue itu selalu penuh oleh pengunjung. Bahkan ketika toko kue belum buka, antrian pembeli sudah nampak mengular. Rose yakin bahwa kue-kue yang ada di Follow Your Bliss bukanlah kue biasa. Ia pernah melihat ibunya mengaduk halilintar ke dalam adonan kue. Berkali-kali Rose merengek kepada ibunya agar diizinkan ikut membuat kue ajaib itu, tapi keinginannya itu belum pernah terwujud.

Kesempatan bagi Rose untuk mendapatkan tanggung jawab besar akhirnya datang ketika Purdy dan Albert, ayahnya, harus pergi ke kota Humbleton. Mereka diberi tugas oleh wali kota untuk mengobati wabah flu di sana-dengan kue-kue ajaibnya, tentu saja. Selama seminggu ditinggal orang tuanya, Rose mendapat tugas untuk membawa kunci gudang. Tentu bukan gudang biasa, karena Bliss Cookey Book, buku masak dengan resep-resep ajaib, disimpan di sana. Namun, sejak awal Albert sudah berpesan bahwa Rose dan saudara-saudaranya, Ty, Sage, dan Leigh, tidak boleh menggunakan sihir di rumah itu.

Sebuah kunjungan tak terduga mendatangi rumah Rose ketika orang tuanya berada di kota Humbleton. Bibi Lily, seorang kerabat jauh, datang berkunjung dan akan menginap selama beberapa hari. Rose menaruh kecurigaan pada Bibi Lily ini, tapi Ty selalu berkata itu hanya perasaan Rose saja. Kecurigaan Rose pada Lily sedikit terlupakan ketika Ty mengajak Rose mempraktikkan beberapa resep yang ada di Bliss Cookery Book. Dengan mengesampingkan rasa bersalah pada orang tuanya - dan berharap semua akan baik-baik saja - akhirnya mereka mencoba resep pertama: muffin asmara.

Baru kali ini Rose melihat resep kue seajaib ini. Banyak hal yang tidak mereka pahami: telur burung cinta bertopeng, enam nyala api, dan waktu setara delapan lagu. Namun, ia dan Ty tetap berusaha membuat kue itu. Nantinya, muffin asmara tersebut akan diberikan pada Mr. Bastable dan Miss Thistle, pelanggan mereka yang jelas-jelas jatuh cinta satu sama lain.

Berhasilkah Rose dan Ty membuat pasangan itu menunjukkan rasa cinta mereka? Lalu siapa sebenarnya Bibi Lily? Ikuti cerita yang menarik dan lezat dalam buku ini. Simak pula resep-resep ajaib lainnya: Cookie-Cookie Kebenaran dan Cake Pemutar-Balik-Keadaan-Seutuhnya. Lihat apa yang Rose dan Ty perbuat dengan resep-resep itu.

Bliss merupakan kisah yang unik. Alur ceritanya cukup cepat, mudah dinikmati. Membaca resep-resep kue dengan berbagai bahan ajaib merupakan petualangan tesendiri. Jika bicara tentang nilai moral, Purdy dan Albert mengajarkan kita bahwa keuntungan materi bukanlah hal utama yang harus dikejar. Dengan Bliss Cookery Book, sebenarnya mereka bisa meraih keuntungan besar-besaran. Namun, mereka justru memilih mendirikan Follow Your Bliss, toko kue kecil dan tinggal di kota kecil pula. Begitu pula ketika mereka dimintai tolong menyembuhkan wabah flu. Purdy dan Albert dengan senang melakukannya secara cuma-cuma.

Hal lain yang menonjol dari buku ini adalah cover-nya. Tatanan kue yang terlihat lezat mudah menarik perhatian siapapun. Ditambah lagi, pinggiran buku ini berwarna biru dengan glitter-glitter indah yang menghiasinya. Semakin menambah kesan magic yang ada di buku ini. 

Bliss merupakan kisah yang seru, indah, juga menyenangkan tentang passion dan tanggung jawab. Buku ini adalah kisah pertama dari trilogi The Bliss Bakery. 4/5 bintang untuk buku ini. Saya masih menantikan kehadiran buku selanjutnya. Mari kita lihat petualangan apa yang akan dilakukan Keluarga Bliss di sana!

Ps:
Posting ini salah satunya untuk reading challenge What's in a Name. Saya memutuskan akan bercerita tentang karakter yang ada di judul buku setiap membuat review untuk reading challenge ini. Karena Bliss adalah nama keluarga, saya memilih salah satu anggota keluarga itu untuk diceritakan. Kali ini saya memilih Rose.

Rose memiliki passion yang besar dalam hal membuat kue. Ia juga bisa dibilang pengasuh bagi adik-adiknya. Rose selalu berusaha menjaga tanggung jawab yang diberikan padanya. Hanya saja ia mudah terpengaruh ajakan orang lain. Bahkan, sifat ini membuatnya terlibat beberapa kesulitan. Silakan berkenalan lebih jauh dengan Rose lewat kisah Bliss ini. 

Posting untuk:
- Posting bareng BBI bulan Maret dengan tema Fantasi

Reading challenge:


 

Tuesday, March 26, 2013

[Review] Tottto-chan's Children

Judul: Anak-Anak Totto-chan, Perjalanan Kemanusiaan untuk Anak-Anak Dunia
Penulis: Tetsuko Kuroyanagi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 328 hlm
Cetakan: IV, Oktober 2010

Tetsuko Kuroyanagi, seorang aktris, penulis, dan ahli panda asal Jepang ditawari menjadi Duta Kemanusiaan  oleh United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF). Kecintaannya terhadap anak-anak membuatnya langsung mengiyakan tawaran itu. Maka, dimulailah perjalanan kemanusiaan Tetsuko ke negara-negara miskin di berbagai benua.

TANZANIA, 1984
Tanzania adalah negara pertama yang dikunjungi Tetsuko dalam rangka perjalanan kemanusiaan sebagai duta UNICEF. Permasalahan utama negara ini adalah kekeringan. Hujan tidak turun sama sekali di Tanzania sejak 1981. Air merupakan salah satu kebutuhan paling penting bagi manusia. Maka, saat kekeringan panjang melanda negara ini, banyak aspek yang terpengaruh, salah satunya adalah penyediaan gizi bagi anak-anak. Anak-anak di Tanzania begitu kurus karena lama tidak mendapatkan makanan bergizi. Perut membusung, rambut menipis, tanda-tanda pasti untuk menunjukkan seorang anak kekurangan gizi. Tidak ada ekspresi yang terpancar dari wajah mereka. Untuk tersenyum saja sepertinya sudah menjadi tugas yang berat.

Di negara ini, Tetsuko betemu dengan seorang anak perempuan bernama Benedicta. Ia tinggal di panti asuhan. Sejak melihat Tetsuko, Benedicta langsung menempelkan tangannya di wajah Tetsuko. Itu adalah komunikasi pertamanya dengan orang lain setelah bertahun-tahun. Sejak saat itu, Benedicta menjadi anak yang tidak dapat dilupakan oleh Tetsuko.

"Tapi bahkan ketika aku menimang mereka, mereka tidak tersenyum. Butuh nutrisi agar kau bisa tersenyum". (hlm 31)

NIGERIA, 1985
Masih di daratan Afrika, Tetsuko melanjutkan perjalanan kemanusiaannya bersama UNICEF. Nigeria juga mengalami kekeringan panjang sehingga 97,5% sumber air di negara ini kering sama sekali. Padahal, Nigeria berarti "satu sungai besar di antara banyak sungai besar". Sungguh kontras dengan keadaannya saat ini. Berjalan di tengah-tengah daratan Nigeria tidaklah mudah. Selain panas yang luar biasa, di padang pasir sering terjadi badai pasir secara mendadak. Saya pastikan, kamu pasti tidak mau terjebak di tengah badai pasir itu.

INDIA, 1986
Ironi mengetahui bahwa banyak anak-anak India kekurangan gizi, padahal banyak sumber daya alam (juga wisata) yang ada di negara ini. Permasalahan yang sangat penting di negara itu adalah tetanus. Banyak warga yang tidak mengindari bahaya tetanus, sehingga banyak pula nyawa anak-anak yang akhirnya tidak terselamatkan.

Di India, Tetsuko juga mendapat pengalaman berharga tentang kasta, sistem budaya yang masih bertahan di India. Satu hal kecil yang dilakukannya (membantu anak-anak mengikat tali sepatu) ternyata mendapat sorotan begitu besar dari media India. Media (dan masyarakat India) tersentak dengan kenyataan bahwa Duta Kemanusiaan UNICEF begitu mudahnya melewati garis kasta yang selama ini masih begitu ditaati warga India.

MOZAMBIK, 1987
Jika terjadi perang, anak-anak bisa dipastikan menjadi korban yang paling menderita. Begitulah yang terjadi di Mozambik. Anak-anak harus berhati-hati ke manapun mereka pergi. Bahkan saat melangkah mereka juga harus waspada agar tidak menginjak ranjau darat. Anak-anak pun banyak yang terpisah dari orang tua mereka. Tidak ada yang menguntungkan dari sebuah perang.

Selain keempat negara ini, masih ada banyak negara lain yang dikunjungi Tetsuko hingga tahun 1996: Kamboja dan Vietnam, Angola, Banglades, Irak, Etiopia, Sudan, Rwanda, Haiti, dan Bosnia-Herzegovina. Masing-masing negara memiliki ceritanya masing-masing. Begitu banyak pesan kemanusiaan yang disampaikan dalam buku ini. Betapa air menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Bagaimana perang merenggut kebahagiaan sebuah keluarga. Namun, yang saya kagumi, di setiap perjalanan Tetsuko saya menemukan bahwa anak-anak tetap berusaha kuat meski keadaan mereka tidak menyenangkan. Mereka tetap saling memberikan perhatian untuk anak-anak lain, bersemangat untuk bersekolah sambil membantu orang tua mereka bekerja. Bahkan, tak jarang anak-anak mendoakan kebahagiaan bagi Tetsuko. Sungguh indah, anak-anak yang masih saja memperhatikan orang lain bahkan ketika keadaannya sendiri tidak bisa dibilang menyenangkan.

Buku ini memberi begitu banyak pengetahuan, juga perenungan tentang hal-hal sederhana yang kadang tidak kita sadari. Kisah nyata dalam buku ini saya rekomendasikan untuk dibaca siapa saja.

Tentang penulis:
Tetsuko Kuroyanagi merupakan aktris, penulis, dan ahli panda dari Jepang. Buku pertamanya-yang sekaligus autobiografi, "Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela" meraih sukses di dunia internasional. Kisah Totto-chan merupakan salah satu kisah favorit saya. Tetsuko sempat mengalami masa kecil di tengah perang dunia II. Karena itu, perjalanan kemanusiaan yang dilakukannya sebagai Duta UNICEF menjadi pengalaman yang sangat dekat dengan dirinya.


Monday, March 25, 2013

[Review] Hex Hall

Judul: Hex Hall
Penulis: Rachel Hawkins
Penerbit: Ufuk Fiction
Tebal: 420 hlm
Cetakan: I, Oktober 2011

Pada awalnya, Sophie Mercer hanyalah remaja biasa yang tinggal bersama ibunya. Hal yang paling luar biasa dari dirinya adalah 'rutinitas' berpindah tempat tinggal bersama sang ibu. Ketika ulang tahunnya yang kedua belas, Sophie baru mengetahui bahwa dirinya adalah seorang penyihir. Kemampuan ini didapatnya dari sang ayah, seorang warlock (penyihir pria). Rupanya, pada mulanya sang ayah menyembunyikan identitas dirinya dari ibu Sophie. Kenyataan bahwa sang ayah adalah seorang warlock baru diketahui ibu Sophie ketika ia mengandung Sophie. Identitas sang ayah yang terungkap langsung membuat ibu Sophie memutuskan untuk berpisah.

Begitulah awal kehidupan Sophie, tinggal berdua saja dengan ibunya, belum pernah bertemu ayahnya,  dan selalu berpindah tempat tinggal. Setelah mengetahui bahwa dirinya penyihir, Sophie harus berhati-hati agar kemampuannya ini tak diketahui orang lain. Namun, saat berusia 15 tahun, ia membuat kekacauan di pesta dansa sekolah. Niat membantu Felicia, temannya, untuk mendapatkan pasangan dengan merapalkan mantra cinta justru membuat identitasnya diketahui seluruh warga sekolah.  Akibatnya, Sophie harus dikirim ke Hecate Hall, sebuah sekolah binaan bagi para Prodigium- penyihir, peri, vampir, warlock, dan shapeshifterSophie tak merasa senang, atau bangga, bisa bersekolah di Hex Hall, nama beken untuk Hecate. Pertama, karena Hex Hall tidak bisa dibilang sekolah yang keren. Sekolah ini adalah tempat binaan bagi para Prodigium yang bermasalah. Kedua, Sophie tak punya pengalaman apapun bergaul dengan kaum Prodigium lain. 

Di Hex Hall, Sophie sekamar dengan Jenna, satu-satunya vampir di sekolah. Di awal kedatangannya ke Hex Hall, ia diajak bergabung ke kelompok penyihir hitam di sekolah itu. Sebuah trio yang terdiri dari Elodie, Anna, dan Chaston. Kepopuleran dan kekuatan yang ditawarkan oleh trio itu tak cukup membuat Sophie menerima tawaran untuk bergabung. Maka, praktis satu-satunya teman yang ia miliki adalah Jenna, yang justru dijauhi oleh semua murid.

Cerita semakin berkembang, Sophie mendapati dirinya menyukai Archer, yang sayangnya adalah pacar Elodie. Di tengah-tengah rutinitasnya bersekolah, ia mengetahui fakta bahwa ayahnya seorang yang mempunyai kedudukan penting di Dewan. Ia juga tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya ketika mengetahui bahwa dirinya adalah target Mata, kelompok pemusnah Prodigium. Anna dan Chaston yang ditemukan terluka parah semakin menambah ketegangan di Hex Hall, apalagi ketika Jenna menjadi satu-satunya orang yang dianggap melakukan penyerangan itu.

Sulit untuk tidak membandingkan novel ini dengan Harry Potter. Dua tokoh yang sama-sama tahu bahwa dirinya adalah penyihir ketika beranjak remaja. Dua tokoh yang tidak mempunyai bayangan sama sekali dengan dunia sihir. Juga, tentu saja, dua sekolah sihir yang menjadi latar belakang cerita ini. 

Namun, banyak juga hal yang membuat cerita Hex Hall menonjol karena ciri khasnya sendiri. Sophie yang dikirim ke sekolah binaan karena sebuah kasus cukup untuk menunjukkan keberanian penulis untuk membuat tokoh utama yang 'berbeda'. Hubungan Sophie dan Elodie yang berkembang di tengah cerita juga menjadi poin yang menarik. Ketika dua orang yang awalnya saling benci akhirnya harus saling mendukung karena keadaan. Saya cukup menikmati alur cerita ini, meski merasa banyak detail yang belum tersampaikan bahkan sampai akhir cerita.

Dari awal hingga akhir cerita, Prodigium yang mendapat banyak porsi adalah penyihir dan vampir. Padahal masih ada peri dan shapeshifter. Lalu saya juga menemukan hal yang janggal tentang Elodie. Di salah satu bab, Archer mengatakan bahwa ia mau menjadi pacar Elodie karena ia menemukan sesuatu yang lain darinya. Namun, sampai akhir cerita saya tidak menemukan sesuatu yang lain dan dalam tentang Elodie ini. Cal, tokoh yang saya kira akan mempunyai peran penting dalam cerita ternyata hanya ditampilkan sekilas. Padahal, penulis jelas mencoba menonjolkan tokoh ini pada awalnya. Detail-detal yang terlewat ini menimbulkan kesan penyelesaian masalah yang terlalu cepat.

Karena Hex Hall merupakan seri pertama dari trilogi, saya mengharapkan detail-detail yang (menurut saya) terlewat ini akan dijelaskan pada buku selanjutnya. Sejauh ini, saya tertarik untuk menuntaskan kisah Sophie Mercer hingga buku ketiga. Akhirnya, 3/5 bintang saya berikan untuk seri pertama ini!

Review untuk: